Saturday, September 9, 2017

SEJARAH SINGKAT PESANTREN MODERN AL-AMANAH

 
 SEJARAH PESANTREN MODERN AL-AMANAH
By: KH. Nur Cholis Misbah

Pesantren Modern Al-Amanah kami rintis dari sebuah "cita-cita" yang nyaris disebut "mimpi" karena kami tak memiliki  bekal apapun, kecuali "keyakinan dan semangat". Beberapa langkah awal yang kami lakukan:  
  • Mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang pesantren. Maka kami kunjungi banyak pesantren, mulai dari pesantren besar seperti Gontor, Asy-syafiiyah, Lirboyo, hingga pesantren yang tinggal dipuing-puing. Selain itu kami juga mengumpulkan buku-buku yang berbicara tentang pesantren.
  • Menyiapkan beberapa kader, yang kelak akan kami jadikan teman untuk mulai membangun dan merintis.
  • Terus meningkatkan kemampuan dengan banyak membaca dan mengoleksi buku.
Pertama kali kami terjun di desa "Mojosantren", sebuah desa yang terkenal sebagai desa santri yang kemudian mengalami pergeseran karena "Industry". Kami tertantang untuk mencoba mengembalikan masa lalu sebagai desa santri. kami yakin bahwa kami akan mampu dengan beberapa timbangan:
  • Banyak tokoh yang menginginkan.
  • potensi keuangan yang luar biasa dengan adanya home industry sepatu,dimana setiap harinya terdapat ribuan pekerja mencari rizqi di pedukuhan ini.
Beberapa langka yang kami lakukan :
  • Mengadakan aneka kegiatan, diskusi, pengajian, kajian dengan aneka lapiasan masyarakat.
  • Mengumpulkan para tokoh, sesepuh, dan pemilik perusahaan untuk menyampaikan rencana kami.
Gagasan kami mendapat sambutan luar biasa, baik dari kaum muda, sesepuh dan para pengusaha hingga dalam waktu singkat "suasana keagamaan" begitu terasa. pembangunan gedung yang kami rencanakan mulai berangsur terbangun, begitu juga sumbangan dari tokoh masyarakat mengalir lancar. Dalam waktu singkat, lantai pertama mampu kami rampungkan.

Tak terduga, ada "perbedaan" cara pandang dalam mengembangkan dan membangun pesantrenyang kemudian menimbulkan" salah paham". Akibatnya sebagian besar masyarakat "marah" dan memutuskan dukungan, hingga bangunan tidak bisa dilanjutkan. Setahun kami menunggu, masyarakat tak mau lagi meneruskan. Akhirnya dengan kekecewaan yang luar biasa kami "hijrah" di desa Junwangi, hanya 1 km dari Mojosantren dengan mengikuti aliran sungai. 

Sebanarnya kami tak langsung masuk desa Junwangi, beberapa desa telah kami "coba", beberapa rumah telah kami lihat, namun kurang cocok untuk melanjutkan perjalanan kami yang sempat "gagal".

kegagalan di Mojosantren memang amat pahit, tapi kami terus mempelajari. banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kami petik, sehingga ketika berada di desa Junwangi kami menggunakan cara yang lain. Apalagi keadaan Junwangi berbeda dengan Mojosantren. Junwangi adalah desa yang belum tersentuh da'wah, hingga kebiasaan melakukan judi, minuman keras masih terjadi. Maka bukan sesuatu yang aneh jika salah satu musholla kecil di pedukuhan tempat kami tinggal tak ada jamaahnya kecuali pemilik musholla dan satu putranya.

Langkah kami adalah sebagai berikut:
  • Mengalir, mengikuti kegiatan masyarakat, khususnya kaum muda dengan harapan mereka menerima kehadiran kami, seperti: catur, remi dll.
  • pelan -pelan kami memberi teladan, misalnya ketika masuk waktu shalat kami dengan istri berangkat ke musholla.
  • kami berusaha menghidupkan musholla pedukuhan dengan jama'ah, pengajian dan renovasi pembangunan.
Pesantren modern al-amanah mulai kami rintis setelah musholla kampung berjalan, jamaah lima waktu terlaksana dengan baik. Di rumah kontrak, kami mengajar mengaji dengan anak kecil,mulai dhuhur hingga larut malam tiap hari. Anak yang mengaji bertambah banyak, cita-cita makin kuat, keyakinan makin sempurna.

Tanah waqaf dari ibu kamsini menambah kuatnya semanagat. Rumah tetap kontrak, tanah waqaf mulai kami pondasi. Berbeda dengan di Mojosantren, di Junwangi kami merintis sendiri tidak banyak melibatkan orang lain. ternyata tidak mudah, setahun hanya berupa pondasi, tak mampu meneruskan.

baru tahun 1992 kami sempurnakan, dan bulan Agustus 1992 KH. Shaleh Qasim kita rawuhkan untuk berdoa dalam acara penting itu, saat itu baru ada dua santri mukim dari desa tetangga, selebihnya putra-putri tetangga.

Rintangan silih berganti, ujian teerus kami hadapi, hal-hal sulit terus bermunculan, tapi pelajaran yang Allah berikan ketika di Mojosantren meneguhkan kami untuk terus maju. Dan Alhamdulillah, terus berkembang, Al-Amanah mulai menjadi alternatif masyarakat untuk mencaripendiikan formal pesantren. 

 


    

No comments:

Post a Comment